Kamis, 05 Januari 2012

.Selamat Datang REDD!!

Dengan datangnya tahun 2012 dan berakhirnya tahun 2011 tentunya banyak hal yang meninggalkan kesan dan sejarah yang mendalam. Dunia kehutanan yang telah menjadi dasar dan pondasi bangsa dengan natural resourcesnya meninggalkan berbagai cerita di tahun 2011. Mulai dari perdangan karbon, keluarnya moratorium alih fungsi lahan hutan primer dan gambut, maraknya pembunuhan orangutan sebagai akibat konflik dengan manusia terhadap aspek perkebunan dan masih banyak yang lainnya.
Dunia kehutanan tentu merasa spesial memasuki tahun 2012 ini. Ya, karena banyak hal, rintangan, hambatan, dan tantangan yang akan terjadi di masa depan. Apalagi fokus dan perhatian dunia pada sektor ini masih tinggi dan layak untuk dinantikan. Dunia kehutanan tentunya juga merasakan kegalauan. Sebuah ekspresi kebingungan menyambut REDD. REDD yang begitu kontroversial dan menjadi perbincangan hangat dalam beberapa tahun terakhir. REDD yang digagas dan lahir pada tahun 2007 saat UNFCC di Bali kini telah memasuki tahap implementasi setelah sebelumnya selama 4 tahun dalam tahap persiapan.
Entahlah apa yang akan terjadi di masa depan mengenai REDD ini. Masih pihak yang kontra dengan mekanisme penurunan karbon yang disertai insentif pembayaran ini. Masih banyak PR yang mesti dikerjakan agar REDD dapat diterima semua pihak dalam tahap implementasinya, diantarannya adalah aspek tenurial yang jelas, mekanisme pembayaran insentif yang jelas dan berkeadilan, terjaminnya aspek pemanfaatan hasil hutan, dan terjaminnya kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Menarik tentunya mengamati implementasi REDD di lapangan dan melihat bagaimana nantinya respon masyarakat dan para pihak yang terlibat terhadap sistem perdangan karbon ini. Harapannya adalah semoga implementasi REDD dapat berjalan damai dan sesuai dengan yang direncanakan dan dapat sebagai sumber pendapatan baru bagi masyarakat.

Mengharmonisasikan Manusia dengan Orangutan

Orangutan adalah salah satu spesies dari bangsa Primata yang bersuku pongidae dan merupakan satu-satunya kera besar yang tersisa di benua Asia. Di Indonesia orangutan hidup di Kalimantan dan Sumatera. Namun saat ini kondisi orangutan begitu memprihatinkan. Mereka terancam dengan pembangunan dan kepentingan manusia. Akibatnya adalah terjadi kerusakan habitat orangutan baik itu habitat yang hilang, habitat yang terdegradasi, dan habitat yang terfragmentasi.

Salah satu hambatan dalam pelestarian orangutan adalah perkembangan perkebunan kelapa sawit. Perkembangan kelapa sawit yang begitu signifikan untuk dijadikan CPO membuat habitat dari orangutan menjadi terancam. Apalagi permintaan kelapa sawit yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi tantangan tersendiri. Hal ini semakin terbukti dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara yang paling banyak mengkonversi lahan kehutan untuk dijadikan kelapa sawit.

Melihat fakta diatas, terjadi suatu kontradiksi, benturan kepentingan dan perebutan lahan antara orangutan dan manusia. Manusia sebagai makhluk berakal tentunya berupaya memenuhi segala kebutuhannya namun disisi lain orangutan merupakan titipan dari Sang Pencipta haruslah kita jaga keberadaannya dan dilestarikan.

Berdasarkan fakta dan faktor dilematis diatas, diperlukan suatu formula untuk mengharmonisasikan antara kehidupan orangutan dan kehidupan manusia agar tercipta suatu kesinergisan yang berkelanjutan. Perubahan dasar yang mesti dilakukan adalah harus ada aksi dan rekomendasi politik dalam kerangka kebijakan dari pemerintah untuk peduli terhadap keduanya. 

Pemerintah harus adil dan tidak memihak pada keuntungan investasi semata. Selain itu, diperlukan suatu aturan yang tegas terkait dengan alih fungsi lahan terutama habitat orangutan untuk dijadikan kelapa sawit. Metode High Conservation Value Forest (HCVF) dapat diterapkan pada objek hutan tertentu apakah hutan tersebut bernilai konservasi tinggi apa tidak, yang dapat dilakukan dengan melihat keanekaragaman hayatinya. Penegakan kembali berbagai produk hukum pemerintah harus dilakukan demi menyelamatkan orangutan yang tersisa. Terakhir diharapkan terjadi keseimbangan antara keduanya demi mewujudkan kehidupan manusia dan kehidupan satwa liar yang lebih baik kedepannya.

Bisnis di Kawasan Konservasi, Mengapa Tidak?

Saat ini, bisa dipastikan bahwa pengelolaan kawasan konservasi sangat bergantung kepada pemerintah terkait dengan pendanan untuk pengelolaan. Dana dari pemerintah pusat tersebut tentunya terbatas dalam melaksanakan manajemen kawasan yang efektif. Mengelola kawasan konservasi yang begitu luas seperti taman nasional yang luasnya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan hektare tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apabila dana dari pemerintah tak cukup, maka bisa dipastikan bahwa pengelolaan pun akan menemui mati suri. Implikasinya bisa mengacam kawasan konservasi itu sendiri.

Pengelolaan kawasan konservasi saat ini bisa dikatakan masih terpengaruh dengan paradigma lama yang hanya memfokuskan pada perlindungan yang berefek pada mekanisme pengamanan kawasan. Paham ini merupakan pola pikir lama paham konservasi konvensional yang bermadzhab konservasi ortodoks. Pemahaman ini merupakan era lama pada masa yellowstone sekitar tahun 1872, namun mengakar kuat di pikiran pengelola kawasan konservasi sehingga menjadi pola pikir yang sangat sulit dirubah, bahkan hingga saat ini.

Aspek perlindungan yang menonjol dalam mengelola kawasan konservasi haruslah direduksi sesuai tingkat proporsional tertentu dan memberikan porsi yang cukup pada aspek pemanfaatan. Walaupun berbagai aturan yang dibuat pemerintah lebih menekankan aspek perlindungan dengan segala larangan-larangannya, namun aspek pemanfaatan di dalam kawasan haruslah dipertimbangkan demi menjaga kawasan tersebut dan menunjang serta membantu manajemen pengelolaan.

Pengelolaan akan berjalan efektif jika memberikan ruang pemanfaatan kepada pihak-pihak yang terkait sesuai dengan aspek lingkungan yang berlaku. Dengan memberikan ruang pemanfaatan tersebut, maka diharapkan akan timbul feedback dari mereka sehingga merasa diperhatikan dalam pengelolaan.

Melalui ruang-ruang pemanfaatan inilah pihak pengelola kawasan konservasi dapat menjadikan kawasan konservasi sebagai bisnis yang dapat menguntungkan sehingga membuat mereka dapat mandiri melalui dana yang diperoleh. Namun yang perlu diperhatikan, bisnis di kawasan konservasi haruslah berwawasan lingkungan dan berpihak pada masyarakat. Dengan menerapkan hal ini, maka konservasi yang selama ini dianggap sebagai biang masalah penghambat pembangunan dapat diubah secara perlahan melalui mekanisme ini. Pemberian hak konsesi pada areal kawasan konservasi kepada masyarakat membuat mereka menjadi turut diikutsertakan dalam pengelolaan dan akan merasa memiliki kawasan sehingga turut serta dalam menjaga dan melindungi kawasan. Pertambangan pun bukanlah menjadi masalah dilakukan di kawasan konservasi, asalkan berwawasan lingkungan dan dilakukan dengan penambangan tertutup dengan mekanisme sharing benefit yang jelas dan mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar.

Dengan melakukan hal ini, maka pengelola kawasan konservasi mendapatkan sumber dana lain yang bisa saja lebih besar daripada yang diberikan pemerintah pusat yang tentunya dapat membuat mereka mandiri dan dapat mengelola kawasannya dengan baik. Sudah sepantasnya aspek pemanfaatan pada kawasan konservasi diberikan porsi yang memadai. Konservasi hanyalah sekedar omong kosong jika tidak memberikan feddback kepada pihak yang terkait.