Sabtu, 01 Oktober 2011

Ecology Entrepreneur

Untuk membangun bangsa ini agar lebih berkembang dan maju secara ekonomi diperlukan suatu langkah strategis untuk mencapainya. Salah satunya adalah dengan kewirausahaan. David McClelland, seorang ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa suatu negara dapat dikatakan makmur apabila minimal harus memiliki jumlah entrepreneur atau wirausahawan sebanyak dua persen dari jumlah populasi penduduknya. Namun, pada kenyataannya Indonesia hanya memiliki entrepreneur atau wirausahawan sebanyak 0, 18 persen dari jumlah populasi penduduknya.

Ada banyak implementasi dari kewirausahaan yang dapat diterapkan, diantaranya adalah sosiopreneurship, agrotechnopreneurship, agropreneurship, tecnopreneurship, ecopreneurship dan masih banyak turunana lainnya. Adalah tidak menjadi suatu permasalahan mengenai hal ini.

Namun ada suatu tipe dalam melakukan wirausaha yang sangat jarang diimplementasikan, atau mungkin belum terpikirkan sama sekali. Suatu konsep berwirausaha yang mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dimana ketiganya dapat berjalan beriringan.

Jenis wirausaha ini memang bisa dikatakan hampir mirip dengan ecopreneurship. Namun sebenarnya ada suatu perbedaan mencolok yang sangat jelas tergambar dari konsepannya. Jenis wirausaha ini dinamakan ECOLOGY ENTREPRENEUR.

Ecology Entrepreneur adalah menciptakan suatu lingkungan yang sangat asri, sejuk, nyaman, dan berlandaskan atas prinsip-prinsip keberlangsungan ekosistem. Tidak hanya itu, output lain yang diharapkan dari Ecology Entrepreneur adalah mendapatkan keuntungan yang terus-menerus sebagai hasil dari proses “menciptakan” lingkungan tersebut dengan tetap memperhatikan aspek-aspek sosial di lingkungan sekitar.

Proses menciptakan lingkungan ini diawali dengan memanfaatkan lahan-lahan yang tidak terberdayakan dengan baik. Prosesnya adalah dengan menanam tanaman yang disesuaikan dengan karakteristik tanahnya. Proses pemilihan tanaman akan sangat menentukan tipe dari ecology entrepreneur ini. Dalam memilih tanaman ini, tanaman yang dipilih adalah yang menghasilkan hasil hutan non-kayu. Artinya dalam ecology entrepreneur, prinsip zero cutting sanagt dijunjung tinggi. Pemanfaatan terhadap hasil hutan non-kayu adalah suatu keharusan. Tanaman yang bisa direkomendasikan dalam ecology entrepreneur adalah Akasia, Rasamala, dan berbagai tanaman yang menghasilkan hasil hutan non kayu yang cukup baik seperti resin dan kopal.

Setelah proses penanaman selesai dan pohon telah menjadi besar. Maka dibuatlah berbagai sarana wisata di daerah tersebut dengan berbagai program. Pemanfaatan jasa lingkungan pun potensial untuk digarap, seperti perdaganagan karbon melalui mekanisme REDD. Dalam hal ini, aspek pengelolaan menjadi sanagat penting. Pengelolaan yang dilakukan tidak hanya melibatkan kalangan pribadi saja, namun juga mengikutsertakan masyarakat sehingga mereka menjadi terberdayakan. Kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat tetap dijaga dan juga dipakai sebagai suatu wisata budaya yang bisa mendatangkan keuntungan.

Dengan menerapkan hal-hal seperti diatas maka akan tercipta suatu ekosistem yang mantap dan juga mendatangkan keuntungan yang terus-menerus. Jadi ecology entrepreneur merupakan suatu cara baru dalam memajukan perekonomian dengan sangat memperhatikan aspek lingkungan.