Senin, 21 November 2011

Dampak Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah suatu peristiwa dimana api membakar bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali ( Syaufina dalam Surnayanti et al 2009). Kebakaran hutan menjadi masalah yang penting untuk segera diatasi karena berbagai dampaknya yang luas bagi manusia dan lingkungannya sehingga efek lebih jauhnya dapat berimplikasi pada kelanjutan kehidupan manusia. Dampaknya tidak hanya dampak positif saja namun juga dampak negatif yang dapat menimbulkan kerugian baik dari aspek ekologi maupun dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, hingga budaya.

Kebakaran hutan sering terjadi di Indonesia. Apalagi didukung dengan iklim tropis Indonesia membuat kebakaran hutan seolah-olah menjadi hal yang biasa dan umum terjadi. Berdasarkan data yang diperoleh dari Publikasi Ilmiah CIFOR (2003) menyatakan bahwa pada tahun 1997-1998 tipe vegetasi pertanian merupakan wilayah yang paling banyak dilanda kebakaran dengan luas 3,8 juta ha, selanjutnya hutan dataran rendah 3,2 juta ha, hutan payau dan gambut 1,4 juta ha, semak dan rumput kering 700 ribu ha, dan vegetasi lainnya yang jumlahnya tidak terlalu besar. Kebakaran pada tahun ini merupakan kebakaran hutan terbesar yang terjadi di Indonesia dengan luas sekitar 10 juta ha. Ditaksir kerugian yang dialami sekitar 10 milyar dollar.

Sebelumnya juga telah ada peristiwa kebakaran hutan yang terjadi. Berdasarkan data dari World Resources Institute (2003) pada tahun 1982-1983 terjadi kebakaran hutan di Kalimantan Timur dengan luas 3,2 juta ha yang diakibatkan oleh pengelolaan hutan yang buruk dan faktor iklim El Nino. Pada tahun 1991 kebakaran di kalimantan Timur kembali terjadi hingga tahun 1994 dengan luas lahan yang terbakar sekitar 5 juta ha. Kebakaran tidak hanya terjadi di Pulau Kalimantan namun juga hampir di seluruh pulau di Indonesia. Pada tahun 1997-1998 tercatat bahwa Pulau Sumatera, Jawa, sulawesi dan Papua juga mengalami kondisi kebakaran hutan walaupun jumlahnya tidak seluas di Kalimantan. Pada tahun itu, total luas kawasan yang terbakar mencapai 6,5 juta ha sedangkan Pulau Sumatera hanya 1, 7 juta ha, Papua 1 juta ha, Sulawesi 400 ribu ha, dan Pulau Jawa 100 ribu ha.

Menurut Westlands International (2005), lebih dari 99% kebakaran hutan dan lahan gambut disebabkan oleh aktivitas manusia, yaitu pembakaran vegetasi, aktivitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam, pengusahaan lahan, perburuan satwaliar, dan pembukaan lahan yang menggunakan api sebagai bahan pembantunya. Biasanya dalam membuka suatu vegetasi agar dijadikan tempat perkebunan ataupun pemukiaman, maka dilakukanlah pembakaran lahan. Hal ini dilakukan karena dengan melakukan pembakaran biaya yang dikeluarkan akan lebih murah dan pekerjaan yang dilakukan pun menjadi lebih praktis. Selain itu pada pembukaan lahan untuk areal perkebunan dan pertanian ada anggapan yang menyatakan bahwa pembukaan lahan yang dilakukan dengan melakukan pembakaran akan menjadikan tanah menjadi lebih subur. Tidak hanya itu, sistem pertanian yang digunakan mempengaruhi pada pembakaran hutan, seperti sistem perladangan berpindah yang sangat merugikan dari sisi ekologis karena menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup besar.

Beberapa akibat yang ditimbulkan dari kebakaran hutan pun menimbulkan berbagai dampak yang terjadi. Dari aspek ekologi salah satunya adalah kerusakan tanah yang menurunkan sifat biologi tanah dan rusaknya tanah secara fisik seperti pemadatan tanah dan struktur tanah menjadi rusak (Wasis 2003). Penurunan sifat biologi tanah seperti menurunnya mikroorganisme, total fungi yang ditimbulkan. Kondisi ini tentunya sangat merugikan karena mikroorganisme berperan dalam meningkatkan produktivitas lahan seperti keberadaan bakteri penambat nitrogen dan bakteri pelarut fosfat yang membantu ketersediaan unsur hara dapat hilang. Pembakaran tanah menyebakan pemadatan tanah yang terlihat dari meningkatnya bulk density (kerapatan limbak) dan porositas tanah. Efek lain dari kebakaran hutan meningkatkan sangganan tanah seperti KTK tanah, pH tanah dan kejenuhan basa. Meningkatnya sangganan tanah secara langsung akan meningkatkan ketersedian unsur hara (Wasis 2003). Jika demikian yang terjadi, maka dapat terjadi destruksi mikroflora dan mikrofauna pada top soil dan tumbuhan bawah di hutan yang dapat mempengaruhi proses dekomposisi dan kesuburan tanah (Narendran 2001).

Dalam aspek ekonomi, kebakaran hutan menyebakan kerugian material yang besar. Menurut International Forest Fire News (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Turki mengakibatkan kerugian hingga 8 juta Dollar Amerika. Kemudian belajar dari kasus di Jambi dimana kebakaran hutan telah mengganggu aktivitas penerbangan sehingga mengakibatkan penumpukkan barang di bandara. Efek samping dari hal ini adalah menurunnya frekuensi dan ktivitas penerbangan sehingga berakibat pada usaha lainnya seperti pada usaha agen perjalanan wisata, maskapai penerbangan, agen pengiriman barang, hotel dan restoran serta sektor imformal lainnya. Selain itu terjadinya juga penurunan di sektor pariwisata karena wisatawan mempertimbangkan efek asap bagi kesehatan mereka dan keamanan transportasi menuju ke tempat wisata, mereka khawatir akan terjadi kecelakaan karena gangguan asap, disamping itu kebakaran hutan telah menyebabkan kerusakan hutan itu sendiri yang sebenarnya juga menjadi tempat tujuan wisata (CIFOR 2006).

Dampak kebakaran hutan lainnya adalah terganggunya kesehatan. International Society of Tropical Foresters (2009) menyatakan bahwa zat-zat emisi yang terkandung di dalam asap kebakaran hutan adalah CO2 67%, H2O 25%, CO 6%, dan partikular lainnya 1%. Hal ini berakibat pada penurunan kualitas udara sehingga banyak masyarakat yang menderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). Sebagai contoh, pada September 2006 terjadi sekitar 14393 kasus ISPA di Jambi. Terjadi peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan tiga bula sebelumnya yaitu peningkatan sebesar 17,71%. Efek samping lainnya adalah meningkatnya biaya pengeluaran masyarakat untuk biaya pengobatan ISPA. Kemudian timbul juga berbagai penyakit lainnya. Menurut Ari Wibowo (2005) menyatakan bahwa asap yang terhirup juga mempunyai partikel yang besar sehingga partikel tersebut dapat masuk ke alveoli dan bertahan dalam beberapa tahun. Hal ini tentunya dapat mengganggu sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit bronchitis, gejala asma, penyakit paru-paru, menurunnya fungsi paru-paru dan penyait kardiovaskular bahkan efek lebih jauhnya dapat menyebabkan kematian. Asap yang ditimbulkan juga dapat bersifat racun yang dapat menyebabkan penyakit yang lebih bervariasi.

Salah satu komponen di dalam hutan adalah satwaliar. Hutan dan satwaliar saling berinteraksi dan menyebabkan terjadinya keseimbangan ekosistem yang mantap. Peranan satwaliar tidak bisa dianggap remeh mengingat 97% penyerbukan dan persilangan yang terjadi di hutan melalui bantuan satwaliar (Komunikasi pribadi dengan Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, 2011). Jika terjadi kebakaran hutan maka akan terjadi ketidakseimbangan. Peranan satwa pun akan berkurang mengingat mereka akan melakukan migrasi bahkan dapat mengacam nyawa mereka yang ujungnya dapat menyebabkan kematian. Salah satu contohnya adalah gajah di India, menurut hasil penelitian Ritesh Joshi dan Rambir Singh (2010), kebakaran hutan telah menyebabkan terganggungnya kehidupan liar gajah di Taman Nasional Rajiji dengan rusaknya sumber air alami dan pakan gajah. Selain itu megakibatkan rusaknya habitat mereka dan enyebakan terputusnya beberapa homerange dari gajah tersebut. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang terjadi di Kalimantan telah menurunkan populasi orangutan hingga 30%. Sebelumnya pada tahun 1982-1983 juga terjadi kebakaran hutan di Kalimantan yang meingkatkan angka kematian reptil dan amfibi disana secara drastis (CIFOR 2006). Hal ini tentunya mencerminkan penurunan keanekaragaman hayati (biodiversitas) di Kalimantan.

Dampak lainnya dari kebakaran hutan dalam skala luas adalah terjadinya efek rumah kaca. Pada tahun 1998 terjadi kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Amazon menyebabkan 12 juta ha lahan yang semulanya hutan menjadi lahan terbuka dan diperkirakan Indonesia berkontribusi menyumbang 1,45 Giga Ton karbon di atmosper pada tahun itu (CIFOR 2006).

Kebakaran hutan juga berpengaruh terhadap aspek hidrologis di hutan. Secara langsung hal ini dapat dilihat dari rusaknya tutupan vegetasi, hilangnya serasah-serasah di hutan dan menurunnya kualitas tanah. Kondisi ini akan mengakibatkan terganggunya fungsi hidrologis dari hutan diantaranya menurun dan hilangnya daya intersepsi dan infiltrasi sehingga mengakibatkan terjadinya run off yang mengakibatkan terjadinya banjir, erosi, serta penurunan kualitas dan simpanan air tanah. Selain itu, akan mengakibatkan menurunnya evaprotranspirasi yang berdampak pada menurunnya curah hujan sehingga terjadi penurunan ketersediaan air tanah (Surnayanti et al 2009).

Dampak dari kebakaran hutan juga berpengaruh terhadap penurunan kualitas dari kayu. Adanya radiasi dari kebakaran hutan menyebabkan terjadinya perubahan dimensi serat, sel ekstraksi menjadi terstimulasikan dan ketidaknormalan dari bentuk kayu. Relevansi lainnya adalah mempengaruhi tinggi dan diameter pohon, jenis daun dan resistensinya. Lebih lanjut kayu dapat diinvasi oleh jamur, bakteri dan serangga (Budi 2003).

Kemudian kebakaran hutan juga berpengaruh pada vegetasi yang ada di hutan tersebut. Menurut Wima Darwiati dan Faisal Danu (2010), intensitas kebakaran yang tinggi dapat mematikan semua anakan, liana, pancang, tiang dan pohon yang dapat berakibat pada lahan hutan tanpa tegakan. Selanjutnya menimbulkan luka dan stress pada pohon sehingga rentan terhadap pentakit dan hama. Stress juga dapat mengakibatkan riap tegakan menurun dimana efek samping lainnya dapat menurunkan kualitas kayu. Selanjutnya diversitas tumbuhan akan berkurang dan mempengaruhi pola suksesi vegetasi. Apabila banyak pohon yang mati maka fungsi hutan lainnya seperti fungsi tata air dan perlindungan tanah akan terganggu.

Oleh karena itu, dengan berbagai dampak negatif dari kebakaran hutan dibutuhkan tindakan yang tepat dan efektif serta pencegahan dini yang baik demi menjaga kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem agar tercipta lingkungan yang aman dan nyaman bagi kehidupan seluruh makhluk hidup yang berada didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Budi. 2003. Effect Forest Fire on Wood: A Biological (Anatomy Study).

Kalimantan Timur: Mulawarman University

[CIFOR] Center for International Forestry Research . 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, Implikasi Kebijakan.

[CIFOR] Center for International Forestry Research. 2006. Forest Fires And Climate Change in Indonesia.

Darwiati W, Danu F. 2010. Dampak kebakaran Hutan Terhadap Vegetasi. Tekno

Hutan Tanaman III (1)

Depari K, Tamapang A, Restu, Surnayanti, Catur W, Stepanus R. 2009. Dampak

Kebakaran Hutan Terhadap fungsi Hidrologi. Bogor: IPB

International Forest Fire News. 2005. The Impact of Forest Fire Damages on The

Total Economic Value of Forest Resources in Turkey.

International Society of Tropical Foresters. 2009. The Effect of Fire in

Agriculture and Forest Ecosystem.

Narendran K. 2001. Forest Fires: Origin and Ecological Paradoks. India:

Resonance

Rambir S, Ritesh J. 2010. Impact of Forest Fires and Shrinking Water

Resources on The Elephant of Rajiji National Park. Iranica Jurnal and of

Energy and Environtment 2010

Wasis B. 2010. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Kerusakan

Tanah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika IX (2)

Wetlands International. 2005. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Dirjen

Jakarta: PHKA.

Wibowo, Ari. 2005. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Polusi

Udara. Info Hutan II (3)

World Resources Institute. 2003. Kebakaran Hutan dan Lahan.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Ecology Entrepreneur

Untuk membangun bangsa ini agar lebih berkembang dan maju secara ekonomi diperlukan suatu langkah strategis untuk mencapainya. Salah satunya adalah dengan kewirausahaan. David McClelland, seorang ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa suatu negara dapat dikatakan makmur apabila minimal harus memiliki jumlah entrepreneur atau wirausahawan sebanyak dua persen dari jumlah populasi penduduknya. Namun, pada kenyataannya Indonesia hanya memiliki entrepreneur atau wirausahawan sebanyak 0, 18 persen dari jumlah populasi penduduknya.

Ada banyak implementasi dari kewirausahaan yang dapat diterapkan, diantaranya adalah sosiopreneurship, agrotechnopreneurship, agropreneurship, tecnopreneurship, ecopreneurship dan masih banyak turunana lainnya. Adalah tidak menjadi suatu permasalahan mengenai hal ini.

Namun ada suatu tipe dalam melakukan wirausaha yang sangat jarang diimplementasikan, atau mungkin belum terpikirkan sama sekali. Suatu konsep berwirausaha yang mensinergikan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Dimana ketiganya dapat berjalan beriringan.

Jenis wirausaha ini memang bisa dikatakan hampir mirip dengan ecopreneurship. Namun sebenarnya ada suatu perbedaan mencolok yang sangat jelas tergambar dari konsepannya. Jenis wirausaha ini dinamakan ECOLOGY ENTREPRENEUR.

Ecology Entrepreneur adalah menciptakan suatu lingkungan yang sangat asri, sejuk, nyaman, dan berlandaskan atas prinsip-prinsip keberlangsungan ekosistem. Tidak hanya itu, output lain yang diharapkan dari Ecology Entrepreneur adalah mendapatkan keuntungan yang terus-menerus sebagai hasil dari proses “menciptakan” lingkungan tersebut dengan tetap memperhatikan aspek-aspek sosial di lingkungan sekitar.

Proses menciptakan lingkungan ini diawali dengan memanfaatkan lahan-lahan yang tidak terberdayakan dengan baik. Prosesnya adalah dengan menanam tanaman yang disesuaikan dengan karakteristik tanahnya. Proses pemilihan tanaman akan sangat menentukan tipe dari ecology entrepreneur ini. Dalam memilih tanaman ini, tanaman yang dipilih adalah yang menghasilkan hasil hutan non-kayu. Artinya dalam ecology entrepreneur, prinsip zero cutting sanagt dijunjung tinggi. Pemanfaatan terhadap hasil hutan non-kayu adalah suatu keharusan. Tanaman yang bisa direkomendasikan dalam ecology entrepreneur adalah Akasia, Rasamala, dan berbagai tanaman yang menghasilkan hasil hutan non kayu yang cukup baik seperti resin dan kopal.

Setelah proses penanaman selesai dan pohon telah menjadi besar. Maka dibuatlah berbagai sarana wisata di daerah tersebut dengan berbagai program. Pemanfaatan jasa lingkungan pun potensial untuk digarap, seperti perdaganagan karbon melalui mekanisme REDD. Dalam hal ini, aspek pengelolaan menjadi sanagat penting. Pengelolaan yang dilakukan tidak hanya melibatkan kalangan pribadi saja, namun juga mengikutsertakan masyarakat sehingga mereka menjadi terberdayakan. Kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat tetap dijaga dan juga dipakai sebagai suatu wisata budaya yang bisa mendatangkan keuntungan.

Dengan menerapkan hal-hal seperti diatas maka akan tercipta suatu ekosistem yang mantap dan juga mendatangkan keuntungan yang terus-menerus. Jadi ecology entrepreneur merupakan suatu cara baru dalam memajukan perekonomian dengan sangat memperhatikan aspek lingkungan.

Minggu, 17 April 2011

Climate Change and Lifestyle

Persoalan Climate Change saat ini adalah persoalan yang sangat banyak dibicarakan banyak orang. Tidak hanya kalangan intelektual saja yang membicarakannya, bahkan penduduk biasa yang berpendidikan rendah pun telah menatap bahwa masalah ini adalah bahaya nyata yang akan tampak dan mengancam penduduk bumi ini. Seolah-olah masalah Climate Change adalah masalah yang sangat serius, yang dapat membahayakan keselamatan semua orang di dunia.

Telah terjadi dramatisasi terhadap isu Climate Change yang implikasinya isu lingkungan semakin meningkat, terutama di Indonesia. Apalagi setelah diadakannya UNFCC di Bali tahun 2008 lalu. Padahal, masih banyak masalah yang lebih berbahaya daripada climate change, masalah kelaparan misalnya. Masalah kelaparan merupakan masalah yang butuh penyelesaian masalah dan pencarian solusi yang sesegera mungkin.

Dalam konteks ini, isu Climate Change yang didengungkan negara barat telah berhasil dikonstruksi menjadi sebuah masalah bersama yang sangat mengancam. Mereka telah berhasil menggiring opini publik melalui media yang mereka kuasai sehingga dengan mudah dapat membuat isu besar dan berbahaya, padahal sejatinya tidak ada yang perlu untuk dikhawatirkan. Tentunya, mereka mempunyai banyak kepentingan melemparkan isu ini ke dunia publik, yang sudah pasti, mereka dengan licik memanfaatkan isu ini demi mendapatkan keuntungan dan berlindung dari perbuatan yang mereka lakukan.

Dengan memafaatkan isu ini, keluarlah suatu aturan dan kesepakatan bagi negara berkembang, yang umumnya masih mempunyai lingkungan yang asri dan hutan yang masih cukup luas untuk tetap menjaganya dengan baik, termasuk Indonesia. Dengan iming-iming imbalan, negara berkembang “dipaksa” untuk tetap mempertahankan hutannya dan harus menjaganya agar tidak ditebang, tidak habis, dan tidak gundul. Oleh karena itu, turunlah berbagai perjanjian dan kesepakatan, seperti Carbon Trade, REDD, dan Moratorium.

Permasalahnnya adalah kesepakatan dan perjanjian tersebut hanya mengikat pada negara berkembang. Negara berkembang diwajibkan untuk menjaga hutannya yang tersisa agar masalah Climate Change ini dapat berkurang dan semakin lama dapat diatasi sehingga penduduk bumi dapat selamat dari bahaya besar ini. Negara berkembang harus mengubah perilakunya untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam setiap pembangunannya sedangkan negara barat hanya membayar saja atas jasa dan tindakan negara berkembang yang telah komitmen untuk menjaga hutannya berdasarkan kesepakatan dan perjanjian yang telah ditandatangani diatas kertas. Namun, negara barat tidak mengubah pola perilaku (lifestyle) mereka. Mereka tidak komitmen untuk menurunkan emisi karbon, tidak melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan, tidak menjaga lingkungan mereka, serta tidak mengubah pola perilaku masyarakatnya untuk lebih bijaksana dan memperhatikan aspek lingkungan.

Hal inilah yang harus dilawan. Tidak adil rasanya jika menuntut suatu negara untuk mengubah pola perilaku sedangkan yang bersangkutan tidak mengubah pola perilakunya. Akan lebih baik jika perubahan pola perilaku untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dilakukan secara bersama dengan komitmen yang kuat agar terjadi perubahan ke arah yang lebih baik sehingga tercipta suatu tujuan bersama untuk menjaga bumi yang menjadi satu-satunya tempat bagi penduduk bumi yang berjumlah lebih dari 5 milyar.

Negara berkembang yang umumnya masih mempunyai hutan yang banyak, harus lebih jeli dan bijaksana dalam menyikapi segala isu dan permasalahn yang ada. Jangan mudah untuk terpancing dengan kesepakatan dan perjanjian yang sepertinya menguntungkan, Namun hal tersebutlah adalah suatu perangkap yang sangat menguntungkan negara barat.

Sabtu, 16 April 2011

Gerakan Kewirausahaan: Solusi Meningkatkan Kemandirian dan Perekonomian Bangsa


Untuk membangun bangsa ini agar lebih berkembang dan maju secara ekonomi diperlukan suatu langkah strategis untuk mencapainya. Salah satunya adalah dengan membudayakan gerakan kewirausahaan. David McClelland, seorang ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa suatu negara dapat dikatakan makmur apabila minimal harus memiliki jumlah entrepreneur atau wirausahawan sebanyak dua persen dari jumlah populasi penduduknya. Namun, pada kenyataannya Indonesia hanya memiliki entrepreneur atau wirausahawan sebanyak 0, 18 persen dari jumlah populasi penduduknya.

Gerakan membudayakan kewirausahaan sebagai penopang perekonomian bangsa adalah suatu keniscayaan. Apalagi masih minimnya jumlah wirausahawan di negeri ini semakin membuktikan bahwa gerakan kewirausahaan ini adalah sebuah langkah strategis dalam membangun kemandirian bangsa. Peningkatan jumlah wirausahawan menjadi 2 persen bukanlah hal mustahil. Beberapa negara telah berhasil membuktikan hal ini. Singapura, Jepang, Korea Selatan, China dan bahkan India telah berhasil membuktikannya. Hanya diperlukan kerja keras, keyakinan, dan disiplin yang tinggi serta didukung dengan kreatifitas dan inovasi yang mumpuni maka target 2 persen wirausahawan pun pasti dapat tercapai.

Untuk memasyarakatkan gerakan kewirausahaan ini, tentunya dibutuhkan berbagai kerjasama dari seluruh stakeholders bangsa ini dan berbagai elemen masyarakat. Adalah suatu hal mustahil mewujudkan hal ini jika tidak ada kesinergisan dalam mencapainya. Diperlukan langkah agresif dan inklusif untuk dapat memasukkan gerakan kewirausahaan ini ke berbagai elemen masyarakat yang mempunyai latar belakang dan budaya yang berbeda-beda.

Memasukkan nilai-nilai kewirausahaan dalam pelajaran sekolah adalah suatu langkah strategis dalam memasyakatkan gerakan ini secara luas. Ada beberapa strategi yang dapat diterapkan, pertama para guru menanamkan nilai-nilai kewirausahaan dengan mengaitkannya dengan pelajaran yang ada. Nilai-nilai tersebut dapat disusupi pada pelajaran yang mempunyai peluang untuk menananamkan nilai-nilai tersebut. Kedua adalah dengan membuat mata pelajaran kewirausahaan di sekolah. Apalagi jika dikombinasikan dengan praktikum yang menarik, maka akan sangat mudah untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan tersebut.

Dalam kehidupan masyarakat, pemerintah dapat membantu dengan memberikan pinjaman lunak dengan bunga yang ringan agar masyarakat dapat mengembangkan bisnisnya. Berbagai pelatihan-pelatihan tentang kewirausahaan pun diperlukan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota maupun provinsi. Kebijakan makro ekonomi pun dapat diterapkan, misalnya dengan menurunkan bunga Sertifikat Bangsa Indonesia (SBI) agar dana yang terparkir di berbagai perbankan dapat produktif untuk diberdayakan dan bunga pinjaman pun menjadi ringan sehingga dapat mendorong upaya pembangunan sektor riil.

Dalam kehidupan kampus, perubahan mindset mahasiswa agar setelah bekerja menjadi wirausahaan adalah sebuah tantangan untuk diwujudkan. Mahasiswa sangat diharapkan peranannya dalam membangun dan mengembangkan sektor riil sehingga bangsa ini dapat mewujudkan impiaannya menjadi bangsa yang mandiri.

Selama ini mindset para mahasiswa setelah lulus adalah mencari kerja. Untuk merubah mindset ini diperlukan sebuah strategi komprehensif di dunia kampus. Sudah seharusnya pihak kampus menjadikan mata kuliah kewirausahaan sebagai mata kuliah wajib. Perlombaan berbagai bussiness plan untuk menarik minat mahasiswa untuk terjun ke dunia wirausaha adalah langkah strategis lainnya. Tidak hanya itu, akan lebih baik lagi jika pihak kampus juga mengapresiasi orang-orang yang sukses dalam berwirausaha. Jangan hanya yang berprestasi secara akademik saja yang diapresiasi, tetapi orang-orang yang telah terbukti sukses berwirausaha ketika menjadi mahasiswa, perlu mendapatkan apresiasi juga.

Dengan menerapkan berbagai strategi yang komprehensip serta didukung kerjasama dari berbagai stakeholders maka gerakan kewirausahaan adalah sebuah langkan konkret dalam mewujudkan kemandirian dan meningkatkan perekonomian bangsa. Impian untuk melahirkan pengusaha-pengusaha sukses bukanlah sekedar mimpi belaka. Target melahirkan wirausahawan sebesar 2 persen pun adalah suatu kepastian yang dapat direalisasikan. Semoga.